Rabu, 20 April 2011

LISAN NOMOR SATU, TULISAN NOMOR DUA (?)

Mungkin pendapat itulah yang akan terlontar dari para mahasiswa pendemo yang sering turun ke jalan. Mereka lebih memilih untuk bersuara dalam bentuk lisan di jalan-jalan protokol. Apakah pendapat mereka itu salah? Belum tentu.
Tren yang berkembang pada masa lalu, minat baca masyarakat Indonesia masih sangat kecil. Mereka lebih memilih untuk mendengarkan radio atau menonton televisi daripada membaca koran. Artinya, mayoritas masyarakat indonesia lebih perhatian kepada informasi berbentuk audio atau audio-visual, bukan pada informasi dalam bentuk visual.

Lagi pula, masyarakat lebih mudah percaya kepada informasi-informasi yang disampaikan secara lisan daripada tulisan. Kita ambil contoh pada kasus trayek angkot. Pada papan trayek tertulis bahwa angkot AL melewati daerah A, tetapi salah seorang kernet angkot AL mengatakan angkot tersebut tidak melewati daerah A. Maka mayoritas calon penumpang lebih memilih percaya kepada informasi yang diberikan kernet secara lisan daripada informasi yang tertulis pada papan trayek tersebut. Jadi, tidak salah rasanya jika mereka menganggap bahwa mengaspirasikan pendapat dengan cara lisan lebih efektif daripada menyampaikannya dengan tulisan.

Namun, jika kita melihat trend yang sedang berkembang saat ini, masyarakat indonesia khususnya para remaja memiliki minat baca yang semakin meningkat. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh gaya hidup mereka yang sangat lekat dengan media sosial atau social media. Media sosial ini, baik signifikan maupun tidak signifikan, telah membentuk kebiasaan penggunanya untuk membaca status atau tweet dari teman-temannya. Perkembangan jaman ini telah menggeser cara efektif untuk mengaspirasikan suara dari yang tadinya berbentuk lisan menjadi berbentuk tulisan.

Belum lagi ditambah semakin buruknya image demonstrasi di jalan yang seringkali berujung ricuh, membuat masyarakat atau bahkan kalangan mahasiswa sendiri menjadi enggan untuk menyuarakan aspirasinya dengan cara konvensional yaitu turun ke jalan dan menyuarakan secara lisan. Hal ini memaksa mahasiswa harus mengalihkan cara dalam menyuarakan aspirasinya dengan cara yang lebih efektif. Karena jika tidak, nama baik mahasiswa dan image demonstrasi akan terus turun dan aspirasi yang sebetulnya baik menjadi tidak didengar karena penyampaiannya yang kurang tepat.

Apakah dengan tulisan berarti suara tidak didengar? Justru dengan tulisan, yang bisa mendengar aspirasi mahasiswa bukan hanya target demonstrasi, melainkan semua pembaca tulisan tersebut. Jika mahasiswa bisa mengisi kolom di koran nasional misalnya, artinya aspirasi tersebut bisa “didengar” oleh masyarakat se-Indonesia. Dengan menyebarluaskan aspirasi melalui koran nasional, mahasiswa bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat luas sekaligus menggalang dukungan untuk “berhadapan” dengan pihak yang di demo dalam tulisan tersebut.
Tugas mahasiswalah, sebagai kalangan terpelajar, untuk mencerdaskan bangsa dengan sikap dan pemikiran kritisnya yang disampaikan dengan cara-cara yang baik. Semakin baik jika semakin banyak kolom koran yang berisi tentang mahasiswa, bukan tentang berita kericuhan demonstrasi mahasiswa melainkan tentang opini, prestasi atau pemaparan informasi oleh mahasiswa.

Kekuatan tulisan bukanlah kekuatan nomor dua setelah lisan. Allah menurunkan ayat pertamanya dengan kata “Bacalah” bukan “Dengarlah”. Objek membaca adalah tulisan, apapun bentuk tulisannya. Artinya Allah memposisikan tulisan pada tempat yang utama. Al-Quran, Injil, dan kitab-kitab lainnya juga berbentuk tulisan. Bahkan perkataan Nabi Muhammad juga dirangkum dalam bentuk tulisan yang kita kenal dengan sebutan Al-Hadist. Tulisan menjadi sangat penting karena sifatnya yang dapat merekam informasi sehingga informasi tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Seorang Arkeolog bertahun-tahun mencari bukti sejarah tentang kehidupan suatu jaman, salah satunya adalah dengan peninggalan berbentuk tulisan dalam berbagai media. Lisan bukan merupakan informasi yang valid bagi mereka. Dengan tulisan, informasi menjadi jelas penanggungjawabnya. Berbeda dengan lisan yang bisa saja saling lempar tanggung jawab jika tidak ada bukti rekamannya.
Semoga semakin banyak mahasiswa yang menyadari bahwa kekuatan tulisan sebetulnya sejak dahulu sudah hebat. Dengan berbekal pemahaman tersebut ditambah dengan semakin meningkatnya minat baca masyarakat Indonesia, diharapkan makin banyak mahasiswa yang memanfaatkan media tulisan untuk menyuarakan aspirasinya sehingga mereka bisa berperan aktif dalam mencerdaskan bangsa sekaligus memperbaiki citra mahasiswa di mata masyarakat.


(naskah lomba blog bem stan 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar