dewasa ini, pemahaman kita terhadap arti kata PRESTASI
telah menimbulkan permasalahan sosial yang cukup mengkhawatirkan.
jika kita ditanya apa itu prestasi?
mungkin kita akan menjawab:
menjadi yang terbaik di kelas
mendapatkan medali terbanyak dalam kejuaraan
memiliki pekerjaan dengan jabatan dan gaji tertinggi
dan lain sebagainya.
dalam benak kita, arti prestasi seakan-akan
merupakan perbandingan pencapaian kita dengan pencapaian orang lain.
kita seperti tidak bisa melepaskan pihak kedua
dalam menilai sebuah prestasi.
pencapaian pribadi seakan tak lagi dianggap sebagai sebuah prestasi.
mengapa ini bisa terjadi?
pertama,
sekolah tidak lagi berfokus kepada perkembangan siswa
tapi lebih kepada perkembangan pamor sekolah.
buktinya?
sekolah tidak mengkhawatirkan bagaimana progress pembelajaran bagi setiap individu siswa,
tapi sangat khawatir jika ada siswa dari sekolah itu yang tidak lulus ujian.
penghargaan hanya diberikan kepada siswa yang memiliki perbandingan lebih baik dari siswa yang lain.
entah itu yang nilainya terbaik, entah itu yang penampilannya terbaik,
atau yang ter-ter lainnya.
padahal jika kita mau menilai secara objektif,
manusia bukanlah batu yang bisa dibandingkan satu sama lain dengan mudah.
batu dengan komponen pembentuk yang sama, cukup dibandingkan besar kecilnya.
namun manusia, dengan komponen pembentuk yang berbeda-beda,
akal, hati dan raga yang berbeda-beda tiap individu
tentu tidak relevan jika kita bandingkan layaknya membandingkan batu.
penghargaan seharusnya layak bagi tiap individu siswa
atas setiap pencapaian pribadi masing-masing siswa.
sebagai contoh, seorang siswa yang biasanya mendapatkan nilai 50
kemudian suatu saat, dengan kerja kerasnya dia berhasil mendapatkan nilai 70.
sebagai individu, dia telah menorehkan prestasi besar dan patut dihargai.
namun biasanya, pencapaian itu tak akan mendapatkan penghargaan apapun
dari sekolah karena tertutupi oleh pencapaian siswa lain.
hal ini yang diduga kuat menyebabkan banyak siswa yang kemudian stress,
mengalami gangguan psikologi bahkan hingga mengalami depresi dan putus asa.
mereka merasa segala pencapaian pribadinya
selalu kalah dan tak ada artinya di mata orang lain.
bahkan dirinya sendiri melihat dirinya itu sudah tak ada artinya lagi.
sampai-sampai dia beralih mengaktualisasikan dirinya
di lingkungan dan kegiatan yang negatif
seperti gerombolan laskar tawuran, pecandu, dan sebagainya.
mereka merasa lebih bisa "berprestasi"
dan lebih "dilihat" oleh orang lain dalam bidang-bidang tersebut.
penyebab kedua mengapa prestasi pribadi tak lagi diperhatikan,
budaya gengsi dan membanding-bandingkan diri dengan orang lain.
apa yang kita miliki harus dibandingkan dengan miliki orang lain,
apa yang kita peroleh harus dibandingkan dengan perolehan orang lain.
dan lain sebagainya.
hal ini, selain mengakibatkan kita tak terbiasa menilai pencapaian diri,
juga mengakibatkan kita sulit untuk mensyukuri apa yang kita punya.
penyebab ketiga,
pengertian keliru tentang arti manusia adalah makhluk sosial
yang mengartikan manusia tak bisa lepas dari orang lain,
termasuk dalam hal menilai prestasi diri.
manusia memang tak bisa lepas dari orang lain.
tapi ini adalah dalam hal pemenuhan kebutuhan
termasuk kebutuhan untuk menolong orang lain.
bukan dalam hal penilaian prestasi diri secara objektif.
perlu diingat bahwa sampai saat ini,
belum ada yang mampu menjabarkan siapa itu manusia secara gamblang,
seperti apa, bagaimana sistem yang terjadi di tiap bagian tubuhnya,
apa potensi yang tersimpan dalam seorang manusia,
kekuatan apa saja yang ada dalam manusia,
bagaimana respons manusia terhadap manusia lain.
lalu mengapa dengan ketidakjelasan pengertian ini,
kita bisa dengan semena-mena membandingkan prestasi
dengan standar sama terhadap setiap individu?
seakan-akan standar yang sama dianggap objektif,
padahal yang diuji bukanlah individu-individu yang sama.
saatnya kita menyadari bahwa tiap manusia punya keunikan sendiri-sendiri.
punya cara sendiri-sendiri dalam menorehkan prestasi di dunia ini.
setiap manusia dilahirkan sebagai khalifah di bumi.
tidak ada pembandingnya.
jika kita merujuk hadist Rasulullah saw, kurang lebih
"barang siapa yang
Hari ini lebih baik dari kemarin = beruntung
Hari ini sama dengan kemarin = rugi
Hari ini lebih buruk dari kemarin = celaka"
cukuplah bagi kita sebagai standar penilaian sebuah prestasi.
bahwa tiap individu yang mampu lebih baik dari kemarin,
dia telah berprestasi.
jika biasanya bangun siang, bangun pagi adalah sebuah prestasi.
beri penghargaan kepada diri,
dengan begitu kita semakin senang untuk bangun pagi.
jika biasanya jarang membaca buku, membaca buku adalah sebuah prestasi.
beri penghargaan kepada diri,
dengan begitu kita semakin senang untuk membaca buku.
setiap pencapaian kita tiap hari
yang menghasilkan perbaikan kualitas diri
adalah sebuah prestasi yang patut dihargai,
minimal oleh diri kita sendiri.
lepaskan semua pandangan orang tentang prestasi di mata mereka.
penilaian mereka bukan tanggung jawab kita.
tanggung jawab kita adalah diri kita sendiri.
perbaiki kualitas tiap hari,
senangi pencapaian prestasi setiap hari,
dengan begitu kita akan menjadi pribadi berprestasi dengan cara kita sendiri.
dan cara paling mudah untuk menjadikan orang lain melihat prestasi kita
adalah dengan memberikan manfaat kepada mereka.
semakin banyak manfaat yang kita berikan,
mereka akan melihat kita sebagai pribadi yang berprestasi.
Diriwayatkan dari Jabir berkata,
”Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah
dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah.
Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
mari berprestasi setiap hari,
dengan senantiasa perbaiki kualitas diri,
dan sebarkan manfaat minimal untuk diri sendiri.
_semoga bermanfaat.
sumber gambar:
ruddabby.wordpress.com
denyrendra.net
thejfblogit.co.uk
istockphoto.com
Buetul dan buaguuus tenan, setuju 200 %.
BalasHapuswah betul banget tuh
BalasHapus